Potret Jakarta – Masyarakat angkat suara soal rencana pemerintah menerapkan kelas standar BPJS Kesehatan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Layanan BPJS Kesehatan nantinya akan menjadi satu kelas, dengan biaya iuran dan layanan yang sama rata.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ada dugaan kemungkinan biaya iuran yang dipatok adalah nilai tengah dari tarif kelas I-III. Saat ini, kelas I dipatok Rp150 ribu, sedangkan kelas III dipatok Rp35 ribu.
Berkaca dari fakta tersebut, Wisnu (25), salah satu karyawan swasta di Bandung mengingatkan kesanggupan bayar masyarakat kelas bawah harus jadi perhitungan pemerintah. Menurut dia, jangan sampai tarif yang nantinya ditentukan malah membuat sebagian peserta susah bayar.
“Jangan sampai mereka jadi nunggak dan bayar denda atau jadi nggak bisa dapat fasilitas kesehatan BPJS karena memilih tidak ikut,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (09/06/2022).
Senada, pegawai swasta asal Cimahi bernama Umar (25) memandang keputusan pemerintah untuk menetapkan kelas standar BPJS Kesehatan memiliki dampak positif dan negatif.
Pria yang ikut kepesertaan BPJS Kesehatan kelas II itu menyebut sisi positifnya administrasi di lapangan jadi lebih mudah. Sebab, golongan kepesertaan jadi lebih sederhana.
Sedangkan sisi negatifnya tarif iuran untuk peserta kelas III bisa naik. Dengan begitu, ada potensi menunggak dari para peserta yang memang merasa berat untuk membayar iuran.
“Kemungkinan terburuknya, niat pemerintah yang baik mengenai sistem BPJS buat masyarakat malah jadi banyak menunggak atau bahkan keberlanjutan masyarakat dalam membayar BPJS nya sendiri,” terang dia.
Sementara, Ananda (24), seorang pegawai swasta, mengaku tidak keberatan bila pemerintah menerapkan satu kelas untuk BPJS Kesehatan. Asalkan, fasilitas yang diterimanya nanti tidak menurun sebagai peserta kelas I.
“Kalau misalkan suatu saat disamaratakan aku sih it’s ok, nggak apa-apa. Tapi aku gak mau kalau setelah disamaratakan malah fasilitas aku yang turun karena di awal aku sudah bayar Rp150 ribu, terus sekarang disamaratakan,” imbuhnya.
Dia menyadari dengan kelas standar, mungkin besaran iurannya di kelas I turun, tapi itu tidak mau membuat fasilitas yang diterima jadi ikut turun. Oleh karena itu, Ananda mengingatkan pemerintah untuk memperhatikan fasilitas yang akan didapat peserta jika kelas standar diterapkan.
Ia juga berpendapat lebih baik membayar sedikit mahal tapi fasilitas yang didapat bagus, dibandingkan bayar murah tapi fasilitasnya malah jadi turun.
“Bukannya aku gak mikirin orang menengah ke bawah, tapi kita sama-sama bayar juga. Ketika yang mampu bayar iuran lebih, misal di atas Rp 85 ribu, ya fasilitasnya juga harus mumpuni,” kata Ananda.
Timboel menuturkan sebelum kebijakan kelas standar BPJS Kesehatan diterapkan, peraturan presiden atau pun aturan lain yang akan menjadi landasan hukumnya harus disosialisasikan kepada masyarakat.
Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di mana masyarakat perlu diberitahu, dan mereka bisa memberi masukan.
Selain itu, Timboel menyebut pemerintah juga harus memperhatikan kesiapan rumah sakit (RS) pemerintah dan swasta, termasuk memastikan RS sudah memenuhi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) atau belum.
Pasalnya, dengan penerapan kelas standar BPJS Kesehatan, kualitas RS pun harus merata. Jangan sampai KRIS juga malah menurunkan suplai tempat tidur di RS.
“Karena jika sisi suplai-nya berkurang, akan terjadi antrean, akan terjadi kesulitan peserta untuk mengakses RS,” kata Timboel.
Sebelumnya, Dewan Jaminan Kesehatan Nasional (DJSN) menyatakan penerapan tahap awal kelas standar program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan dimulai pada Juli 2022.
“Juli diharapkan sudah mulai pelaksanaan tahap awal sesuai peta jalan,” ucap Anggota DJSN Iene Muliati.
Rencananya, sambung Iene, Kementerian Kesehatan akan menerbitkan aturan berupa peraturan menteri kesehatan (permenkes) yang menjadi landasan hukum penerapan tahap awal tersebut.
“Juni ini persiapan teknisnya diharapkan sudah selesai, sehingga Juli sudah bisa diumumkan (permenkes nya),” jelasnya.
Kendati demikian, tarif kelas standar yang akan dikenakan masih dihitung. Iene memastikan permenkes tidak mencantumkan soal besaran tarif tetapi hanya berisi mengenai detail pelaksanaan kelas standar dan rumah sakit vertikal atau milik Kemenkes mana saja yang akan dilaksanakan.
Penerapan kelas standar itu sesuai dengan peta jalan yang sudah disusun sejak awal tahun. Pertama, pada Juli 2022 akan diimplementasikan sembilan kriteria di 50 persen RS vertikal.
Kedua, pada Desember 2022 akan diimplementasikan sembilan kriteria di seluruh RS vertikal. Ketiga, pada Januari 2023 akan diimplementasikan sembilan kriteria di 50 persen Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Provinsi.
Keempat, pada Juli 2023 akan diimplementasikan sembilan kriteria di 50 persen RSUD dan 50 persen di RS Swasta.
Kelima, pada Desember 2023 akan diimplementasikan 12 kriteria di seluruh RS Vertikal dan 9 kriteria di seluruh RSUD Provinsi.
Keenam, pada Desember 2024 akan diimplementasikan 12 kriteria di seluruh RS di dalam negeri. (Net)