Tasikmalaya, MNP – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digulirkan pemerintah pusat dan daerah kembali menuai kritik.
Ketua Solidaritas Warga Pribumi (Swap) Tasikmalaya, Adang Isu menilai program yang semula digadang-gadang mampu meningkatkan kualitas gizi siswa justru menimbulkan persoalan serius.
Ia menyoroti rentetan kasus keracunan massal yang menimpa ratusan pelajar di berbagai kabupaten di Jawa Barat, termasuk Garut dan Tasikmalaya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Adang, kasus yang terjadi berulang kali itu menjadi sinyal bahaya. Ia menegaskan bahwa siswa tidak boleh dijadikan “kelinci percobaan” dari program yang penerapannya belum matang.
“Kalau sudah terjadi berulang, jangan sampai Kota Tasikmalaya ikut menjadi korban berikutnya. Ini harus dihentikan sebelum terlambat,” ucapnya, Selasa (23/9/2025).
Adang juga mengkritik lemahnya pengawasan teknis dalam penyelenggaraan program MBG.
Menurutnya, tim kesehatan yang bertugas mengawasi standar gizi dan keamanan makanan sebagian besar masih berusia muda dan minim pengalaman di lapangan.
“Kalau yang menangani masih anak-anak muda tanpa pengalaman panjang, wajar kalau pengawasan sering bocor. Urusan kesehatan ribuan siswa tidak bisa dijadikan ajang belajar,” katanya.
Lebih jauh, Adang menyoroti dugaan adanya kepentingan tertentu di balik pelaksanaan MBG.
Ia mengaku memperoleh informasi bahwa terdapat sekitar 21 dapur katering yang menjadi pemasok utama makanan program tersebut.
Dari jumlah itu, sebagian besar diduga dikuasai oleh pihak yang memiliki hubungan dekat dengan dinas terkait.
“Kalau benar ada orang dinas yang menguasai 21 dapur, jelas ada konflik kepentingan. Program ini seharusnya bersih, transparan, dan melibatkan pihak independen, bukan malah jadi ladang bisnis,” tegasnya.
Ia pun mengingatkan, indikasi konflik kepentingan tersebut harus menjadi perhatian serius pemerintah.
Menurutnya, jika tidak segera diatasi, program yang mestinya berpihak pada siswa bisa terjebak dalam praktik penyalahgunaan kewenangan dan bahkan berpotensi dipolitisasi.
“Jangan sampai program penting ini dipakai untuk kepentingan politik atau jadi lahan proyek segelintir orang. Kepentingan anak-anak harus diutamakan,” ujarnya.
Berdasarkan sejumlah persoalan itu, Swap Tasikmalaya mendesak pemerintah daerah melakukan evaluasi menyeluruh.
Adang bahkan mengusulkan agar program MBG dihentikan sementara dan dialihkan ke bentuk bantuan uang saku bagi siswa.
Skema tersebut, menurutnya, lebih fleksibel, efektif, serta bisa meminimalisir risiko keracunan massal akibat makanan yang diproduksi secara serentak dalam jumlah besar.
“Kalau niatnya menyehatkan anak, masih banyak cara lain. Uang saku lebih fleksibel, anak bisa membeli sesuai kebutuhan, orang tua pun lebih tenang. Jangan sampai program yang katanya untuk menyehatkan malah menyengsarakan,” ungkapnya.
Adang menilai uang saku sebesar Rp10 ribu hingga Rp15 ribu per hari sudah cukup untuk membantu siswa membeli makanan yang layak dan sesuai selera.
Desakan ini menambah panjang daftar kritik terhadap program MBG. Kasus keracunan berulang yang terjadi di sejumlah wilayah menimbulkan pertanyaan besar soal sistem pengawasan, mekanisme pengelolaan anggaran, hingga integritas pihak-pihak yang terlibat.
Banyak kalangan menilai bahwa tanpa perbaikan menyeluruh, program MBG justru lebih banyak menimbulkan risiko daripada manfaat.
Dengan suara lantang, Adang menutup pernyataannya dengan harapan agar pemerintah benar-benar mendengar keresahan masyarakat.
“Kalau bicara masa depan bangsa, kesehatan anak-anak adalah kunci. Jangan main-main dengan nyawa siswa hanya demi jalankan program yang masih penuh celah,” pungkasnya.
Penulis : SN
Editor : Redi Setiawan